Jakarta - Kepada semua punggawa timnas U-23,
ingatlah: sejarah hanya mengabadikan nama para juara. Maka,
bertarunglah, menanglah, dan jadikan namamu abadi!
Yeah, sejarah
memang kerap tak adil bagi mereka yang kalah, mereka yang mungkin sudah
bertarung sekuatnya dan melawan dengan sebaik-baiknya. Tapi, apa boleh
bikin, begitulah tabiat sejarah: ia hanya mencatat para pemenang, hanya
mau mengabadikan para juara.
Kadang ada yang berkata kemenangan
bukan segalanya. Ada juga yang bilang yang terpenting bermain dengan
indah dan bertanding dengan penuh kegembiraan.
Perkataan seperti
itu tak sepenuhnya salah. Tapi, Kawan, mungkin kau juga sudah sangat
tahu: Indonesia sudah terlalu sering kalah dan akhirnya terbiasa menjadi
pecundang. Sedihnya lagi, kekalahan yang datang seringkali bukan jenis
"kekalahan yang indah", tapi kekalahan yang sebenar-benarnya kekalahan:
kalah secara hasil, kalah secara permainan, dan tragisnya kadang
diselimuti bau gajah yang tak sedap .
Dua puluh tahun sudah
Indonesia berada dalam situasi seperti itu, 20 tahun sudah Indonesia tak
merasakan pengalaman menjadi juara. Indonesia
hanya pernah mengendus
bau juaranya saja, tapi tak pernah benar-benar bisa merengkuhnya.
Setelah 1991, beberapa kali Indonesia "nyaris" jadi juara, tapi tak
lebih dari "nyaris", hanya "nyaris". Tidak di SEA Games, tidak di Piala
AFF/Tiger. Semua serba "nyaris".
Karena terbiasa dengan "nyaris",
itu pula yang selalu diulang-ulang dan diceritakan: nyaris mengalahkan
Uni Soviet di Olimpiade 1956, nyaris lolos Olimpiade 1976, nyaris juara
Piala AFF, dan nyaris-nyaris yang lain. Karena terbiasa dengan "nyaris"
itu jugalah kita dilenakan oleh julukan-julukan yang simbolik saja:
(pernah jadi) Macan Asia, negara gila bola, dll., dkk.
Karena
itulah surat ini ingin berterus terang mengatakannya: Indonesia tak bisa
terjerembab lebih lama dan terperosok lebih dalam lagi. Indonesia butuh
sebuah pencapaian baru, sebuah tonggak, suatu milestone, yang dibangun
oleh tangan dan kaki dari generasi terbaru. Karena kita tak bisa lagi
terus menerus mengelap-elap peninggalan lama saat para jiran kita sudah
melaju dan memancangkan target-target baru yang lebih jauh.
Apa
boleh bikin! Beban itu kali ini memang ada di pundakmu. Ya, beban. Aku
harus berterus terang mengatakannya karena tak ingin
mengenteng-entengkan hanya sekadar untuk membesarkan hati. Lagi pula,
aku juga tak ingin berpura-pura, kami tak ingin berpura-pura: Indonesia
ingin gelar juara.
Hanya dengan itulah aku (mungkin juga
Indonesia) akan mengingat nama kalian, mengenang sampai lama, sampai
jauh di kemudian hari!
Sejarah itu, Kawan, hari ini sudah di
depan ujung hidungmu. Hanya tinggal sejengkal lagi jaraknya dari
jangkauan kedua tanganmu. Apakah kau sudah bisa mulai mencium baunya?
Apakah kau sudah mulai dapat mengendus aromanya?
Kesempatan yang
sudah amat dekat ini, peluang untuk diingat dan dikenang ini, mungkin
tak akan datang sebanyak dua kali. Generasi berikutnya mungkin akan
mendapat kesempatan serupa, tapi tak ada yang bisa menjamin kau akan
mendapatkan kesempatan seperti ini sekali lagi. Siapa tahu ini akan jadi
kesempatanmu satu-satunya.
Kawan, tentu kau tidak akan sudi menukar momen bersejarah ini dengan apa pun juga, bukan?
Jadi,
bertandinglah seakan-akan laga final SEA Games 2011 adalah pertandingan
terakhirmu. Menderita dan sekaratlah hanya untuk hari ini saja agar
selanjutnya kau bisa menjalani sisa hidupmu sebagai seorang juara!
Bung, ayo, Bung!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar dengan sopan